Thursday, August 24, 2017

Implementasi Keputusan MK nomer 130/PUU-XIII/2015 Dalam Pelaksanaan Penyidikan Pada Satreskrim Polrestabes Surabaya.

1.    Latar Belakang Permasalahan
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait pasal-pasal prapenuntutan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari lima pasal yang diuji, MK hanya mengabulkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) wajib diserahkan penyidik kepada para pihak paling lambat 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan. Putusan MK nomor 130/PUU-XIII/2015, Menyebutkan bahwa Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Fakta yang selama ini terjadi, SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurutnyahal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law seperti dijamin Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor. Pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap pelapor dan korban/pelapor. Alasan Mahkamah didasarkan pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP,yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan dapat menunjuk penasihat hukumnya. Sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembalian penyidikan atas laporannya. Berkaitan dengan putusan di atas, Mahkamah Konstitusi memberi penafsiran sebab akibat dari norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP berupa "apabila tidak dilakukan pemberitahuan kepada penuntut umum, maka penyidikan harus dianggap batal demi hukum". 
Adapun konsekuensi bagi penyidik apabila melewati batas 7 hari belum menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor maka penuntut umum dapat menolak berkas perkara yang diajukan penyidik. Apabila penuntut umum memaksakan untuk menerima berkas perkara itu maka kemungkinan tersangka (terlapor) akan memanfaatkan keterlambatan tersebut untuk mengajukan praperadilan. Dengan demikian, keterlambatan pengiriman SPDP oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor telah memperluas atau menambah objek praperadilan. Di mana sebelumnya MK juga telah memperluas objek praperadilan lainnya seperti penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan berdasarkan putusan MK Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas masalah Implementasi Keputusan MK nomer 130/PUU-XIII/2015 Dalam Pelaksanaan Penyidikan Pada Satreskrim Polrestabes Surabaya.

2.    Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan argumentasi rasionalisasi permasalahan yang tertuang dalam latar belakang penelitian diatas, pertanyaan penelitian akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.        Bagaimana manajemen penyidikan yang dilakukan di Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya?
b.        Dalam putusan MK no. 130/PUU-XIII/2015 disebut bahwa SPDP juga dikirim kepada Terlapor, terminologi Terlapor tidak ada di dalam KUHAP, Bagaimana Implementasi putusan MK tersebut di Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya?


3.    Tujian Penelitian
            Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:
a.         Manajemen penyidikan di Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya.
b.         Implementasi putusan MK no. 130/PUU-XIII/2015 dalam pelaksanaan penyidikan di Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya.

4.    Teori-teori
a.    Teori Penyimpangan
Deviation adalah penyelewengan terhadap norma2 dan nilai2 dalam masyarakat, “deviance is behavior that a considerable number of people in a society view as reprehensible and beyond the limits of tolerance”. Jadi, penyimpangan adalah tingkah laku yang dianggap oleh sejumlah besar orang sebagai sesuatu yang tercela dan di luar batas-batas toleransi. Perilaku yang menyimpang akan terjadi apabila manusia mempunyai kecenderungan untuk lebih mementingkan suatu nilai sosial-budaya daripada kaidah-kaidah yang ada untuk mencapai cita-citanya. Pudarnya pegangan pada kaidah-kaidah menimbulkan keadaan yang tidak stabil dan keadaan tanpa kaidah ini dinamakan anomi. Terjadinya deviation kadang-kadang dianggap sebagai pertanda bahwa struktur sosial perlu diubah.
Hal ini merupakan suatu petunjuk bahwa struktur yang ada tidak mencukupi dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan yang terjadi. Menurut Kornblum (1989:202-204) di samping penyimpangan (deviance) dan penyimpang (deviant) kita menjumpai pula institusi menyimpang (deviant institution). Contoh yang disajikannya adalah kejahatan terorganisasi. Sebenarnya hal ini dapat di analogikan seperti ketika penyidik melakukan penyimpangan dalam penyidikan secara terorganisir, mulai dari atasan sampai bawahan yang sudah barang tentu penyimpangan ini akan menimbulkan kejahatan korupsi didalamnya. Namun demikian bila dalam lingkungan penyidik tersebut terjadi deviation atau penyimpangan biasanya mereka tidak akan suka tetapi apabila lingkungan penyidik itu merasakan manfaat dari deviation tertentu maka penyimpangan itu akan diterimanya.Salah satu contoh penyimpangan yang kemudian tidak begitu dicela lagi adalah penerimaan uang suap oleh penyidik yang mempunyai kekuasaan dan wewenang dalam kasus-kasus kejahatan tertentu.

b.    Deterrence Theory
Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Dalam upaya pencegahan kejahatan, mereka menekankan bukan pada faktor penyebabnya melainkan pada aspek penghukuman atau sistem peradilan pidana, mulai dari perumusan ancaman pidananya sampai penegakan hukum dan pelaksanaan pidananya. Karena tujuan utama dari hukum pidana adalah deterrence maka peraturan hukum pidana harus merumuskan secara jelas perbuatan apa yang digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum dan pidana apa yang cukup layak mengimbangi kepuasan/manfaat yang diperoleh dari melakukan kejahatan sehingga karenanya mencegah orang untuk melakukan kejahatan (Bentham dan Cessare dalam Muhammad. 2006: 6). Von Hirsch (1976) menyatakan : Sebenarnya dapat diasumsikan bahwa sebagian besar kejahatan dilakukan oleh sebagian kecil orang, bahkan mungkin 1 orang dapat melakukan beberapa kejahatan yang berbeda dan jumlahnya banyak, maka penghukuman terhadap sebagian kecil orang tersebut saja sebenarnya sudah cukup untuk mencegah kejahatan tersebut berlangsung kembali (Selective Incapacitation Policy). Selanjutnya bagi mereka yang bersalah, memang layak untuk dihukum, karena hukuman membuat mereka lebih menderita. Disisi lain hukuman jugalah yang dapat mencegah lebih banyak derita daripada yang dihasilkannya (Just Desert Policy) (Hirsch dalam Meliala, 2006: 2).
Menurut teori ini, terdapat tiga aspek yang mempengaruhi efektivitas sistem pemidanaan, yaitu :
1)    Severity (membebani), dalam arti seimbang (fit) dengan perbuatan jahat, secara adil melampaui kepuasan yang dijanjikan oleh suatu perbuatan jahat, kalau terlalu berat tidak adil (unjust) dan sebaliknya, kalau terlalu ringan juga tidak akan memberikan efek jera. 
2)    Celerity/swift (kecepatan), artinya pemidanaan juga harus segera ditegakan, beberapa saat setelah atau pada saat perbuatan pidana tersebut dilakukan. 
3)    Certainty (kepastian), artinya ada kepastian untuk menegakkan hukum sehingga siapapun yang melakukan pelanggaran hukum harus ditindak.
Dalam hal ini memang tindakan yang akan dikenakan sanksi penjeraan bukan pidana. Namun demikian, dapat dianalogikan demikian karena fokusnya bukan pada tindak pidana melainkan pada seberapa tinggi efek yang dihasilkan atas sanksi yang diberikan. Pada pengawasan penyidikan yang dilakukan, efek jera sangat berpengaruh pada keberhasilan aturan yang diberikan kepada setiap penyidik yang melakukan penyalahgunaan wewenang. Aturan yang dibuat harus memuat sanksi yang jelas agar pada penerapannya menjadi efektif untuk perbaikan yang akan dilakukan. 

c.    Teori Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah proses analisis atau penilaian lingkungan organisasi yang meliputi kondisi situasi, keadaan, peristiwa dan pengaruh-pengaruh di dalam dan di sekeliling organisasi yang berdampak pada kehidupan organisasi (Salusu, 1996: 356 – 359). Tentang Analisis SWOT ini dijelaskan sebagai berikut:
a)    Lingkungan internal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi struktur organisasi (termasuk susunan dan penempatan personelnya), sistem organisasi dalam mencapai efektivitas organisasi, SDM, anggaran serta faktor-faktor lain yang menggambarkan dukungan terhadap proses kinerja/misi organisasi yang sudah ada, maupun yang secara potensial dapat muncul di lingkungan internal organisasi, seperti teknologi yang telah digunakan sampai saat ini. Lingkungan internal meliputi:
1)    Faktor Kekuatan (strengths) adalah situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif yang memungkinkan organisasi memenuhi keuntungan strategik dalam mencapai visi dan misi.
2)    Faktor Kelemahan (weakness) adalah situasi dan ketidakmampuan internal yang mengakibatkan organisasi tidak dapat atau gagal mencapai visi dan misi.
b)    Lingkungan eksternal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi :
1)    Faktor Peluang (opportunities) adalah situasi dan faktor-faktor luar organisasi yang bersifat positif, yang membantu organisasi mencapai atau mampu melampaui pencapaian visi dan misi.

2)    Faktor Ancaman/tantangan (threats) adalah faktor-faktor luar organisasi yang bersifat negatif, yang dapat mengakibatkan organisasi gagal dalam mencapai visi dan misi.

No comments:

Post a Comment

PENANGGULANGAN PEREDARAN NARKOBA DI INDONESIA 1. Beberapa faktor yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran peredaran gelap narkoba band...