Thursday, August 24, 2017

PENANGGULANGAN PEREDARAN NARKOBA DI INDONESIA

1. Beberapa faktor yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran peredaran gelap narkoba bandar Nasional dan Internasional:
a. Tingginya Jumlah Penyalahguna Narkoba
Prevalensi penyalahguna narkoba di Indonesia berdasarkan hasil survey BNN pada tahun 2015 adalah 2,18 persen atau setara dengan 4,2 juta jiwa. Dari jumlah 4,2 juta tersebut, 1,6 juta tercatat dalam tahap coba pakai, 1,4 juta orang pemakai teratur, dan 943 ribu orang merupakan pecandu narkotika (pengguna tetap).
Pada kasus ini berlaku hukum ekonomi yakni dimana permintaan yang tinggi akan berpengaruh pada penawaran yang juga tinggi. Penyalahguna narkotika berasal dari berbagai kalangan mulai dari pelajar, pekerja, hingga pengangguran. Pelajar penyalahguna narkotika tercatat sebanyak 27,32 persen, sementara jumlah pekerja yang memakai narkotika sebanyak  50,34 persen, dan 22,34 persen adalah pemakai narkotika dari kalangan yang tidak bekerja atau pengangguran.
Estimasi kebutuhan narkotika ilegal di Indonesia untuk narkotika jenis ganja 158 juta gram, Sabu 219 juta gram dan Ekstasi 14 juta butir. Inilah kemudian yang menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial peredaran gelap narkotika. Dari data tersebut diatas, tak heran bila Indonesia menjadi sasaran empuk bagi pengedar narkotika sindikat internasional untuk memproduksi narkotika dalam jumlah yang besar untuk dijual di Indonesia.
Diperkirakan, sebanyak 12.044 orang per tahun mengkonsumsi narkoba dalam dosis berlebih, lebih dari satu jenis narkoba secara bersamaan, dan menggunakan narkoba setelah lama berhenti. Tercatat 33 orang per hari meninggal akibat dampak penyalahgunaan narkotika. (sumber: laporan akhir tahun BNN)
b. Pengawasan Jalur laut, pelabuhan dan Bandara Yang Belum Maksimal
Berdasarkan laporan kepala Bea dan Cukai pada tahun 2015, penyelundupan narkotika melalui jalur udara makin menurun, yakni 48 kali. Sedangkan angka penyelundupan melalui jalur laut meningkat tajam, yaitu 59 kali. Ini mengindikasikan bahwa jalur laut menjadi primadona bagi sindikat internasional untuk menyelundupkan narokoba di Indonesia.
Jalur ini menjadi sangat rawan sebab pengawasannya lebih lemah dibandingkan jalur udara. Pelabuhan yang seringkali digunakan oleh sindikat adalah pelabuhan tikus atau yang sering kita kenal pelabuhan tradisional. Namun mereka sering kali masuk menggunakan pelabuhan resmi berskala internasional seperti pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang dan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dan lain-lain.
Sebagai contoh, pada 14 Mei 2012, BNN menggagalkan upaya penyelundupan 1,4 juta butir esktasi milik bandar besar Fredy Budiman di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Yang paling menghebohkan adalah pengungkapan 840  kg Sabu di kawasan Lotte Mart, Taman Surya, Kalideres, Jakarta Barat. Kasus ini sekaligus menjadi tangkapan terbesar di Asia oleh BNN. Berdasarkan penelusuran BNN, barang haram tersebut masuk melalui pelabuhan Dadap, Tangerang. Buronan 7 (tujuh) negara bernama Wong Chi Ping akhirnya dilumpuhkan oleh BNN.
Kasus terbesar lainnya yang diungkap oleh BNN adalah penyitaan 100 kg Sabu yang disembunyikan dalam mesin genset di sebuah gudang milik CV Jepara Raya Internasional (JRI) di Dukuh Sorogen, Kecamatan Batealit, Jepara, Jawa Tengah. Berdasarkan penelusuran tim penyidik BNN, barang haram tersebut masuk melalui pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. 
c. Masyarakat Belum Sepenuhnya Peduli Terhadap Lingkungan Sekitar
Salah satu elemen penting dalam  Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) adalah masyarakat. Masyarakat harus memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungan guna melindungi dirinya terutama generasi muda dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. 
Semakin tinggi kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap  narkoba, maka upaya penanggulangannya akan semakin mudah. Peredaran gelap narkoba dapat diatasi apabila ada kerjasama yang baik antara aparat penegak hukum dengan masyarakat (terutama RT/RW). Namun seringkali sindikat atau bandar narkoba memilih lokasi atau tempat yang dianggap aman dan nyaman sebagai tempat tinggal untuk pengedarkan narkotika.
Dalam beberapa kasus masyarakat justru menghambat aparat penegak hukum ketika melakukan penangkapan bandar narkotika. Hal ini membuat bandar narkotika merasa dilindungi sehingga mereka leluasa melakukan aksi-aksinya. Oleh karena itu, BNN pada setiap kesempatan meminta serta menghimbau masyarakat untuk ikut berpartisipasi melakukan upaya-upaya pencegahan di lingkungan masing-masing.
d. Bisnis Yang Sangat Menguntungkan
Indonesia yang kian menjadi surga peredaran gelap narkoba jaringan internasional patut mendapat perhatian semua pihak. Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi yang kian membaik, maka tingkat permintaan pada barang haram narkotika juga akan makin meningkat. Dengan demand yang tinggi tersebut, sindikat internasional akan terus melakukan upaya yang lebih maksimal untuk menyelundupkan narkotika ke Indonesia.
Meskipun ancamannya adalah hukuman mati, namun sindikat tidak pernah surut untuk terus menjajah Indonesia dengan barang haram narkotika. Oleh karena itu harus ada upaya penindakan yang tegas serta dukungan semua pihak untuk melindungi masyarakat terutama generasi muda dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Pada awal tahun 2015 di Indonesia, pernah terjadi kenaikan harga sabu secara drastis. Kenaikan itu disebabkan karena hilang pasokan narkotika. Pasokan tersebut hilang karena BNN berhasil menangkap pengedar sabu terbesar Wong Chi Ping dengan jumlah barang bukti yang mencapai 862 kologram.
 e. Belum canggihnya peralatan yang dimiliki oleh para penegak hukum
Untuk mendeteksi penyelundupan narkoba dan komunikasi lewat jaringan informasi dan teknologi diperlukan alat yang canggih. para pelaku pengedar narkoba menggunakan berbagai cara untuk memanipulasi barang selundupannya agar tidak terdeteksi alat X-ray milik petugas baik di bandara dan pelabuhan. banyaknya modus operandi yang dilakukan para pengedar. dalam penggunaan IT para pengedar menggunakannya dalam hal menjalakan operasinya agar tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum seperti contoh penggunaan pesan terenkripsi, penggunaan sandi-sandi, penggunaan simbol-simbol dll.
f. Lemahnya penegakan hukum dan adanya oknum petugas yang dapat disuap
Hal ini menjadikan preseden buruk dalam penegakan hukum jika petugas yang diberikan wewenang menyalahgunakan kewenangannya dalam penegakan hukum kasus narkotika. banyak sekali petugas penegak hukum yang menerima uang suap, menjadi backing bandar narkoba, memakai narkoba, bahkan memfasilitasi peredaran narkoba. dalam hal pencucian uang, banyak penegak hukum yang tidak faham dan tidak mengerti modus operandinya para pengedar narkoba, hal ini yang memperparah peningkatan peredaran narkoba di indonesia.


2. PEREDARAN GELAP NARKOBA DI INDONESIA MENINGKAT DAN TERORGANISIR SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA
PEREDARAN GELAP NARKOBA DI INDONESIA
Pada saat ini Indonesia tidak hanya sekedar menjadi daerah transit/ lalu lintas Narkoba karena posisinya yang strategis. Jumlah penduduk yang besar, letak goegrafis yang strategis dan kondisi sosial politik tengah berada pada proses transisi dimana stabilitas politik dan keamanan masih sangat labil dan rapuh telah mendorong Indonesia menjadi daerah tujuan perdagangan Narkoba. Parahnya lagi, beberapa tahun belakangan ini Indonesia juga diindikasikan sebagai daerah penghasil Narkoba. Hal ini dapat dilihat dengan terungkapnya beberapa laboratorium narkoba (clandenstin lab) yang cukup besar di Indonesia. Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi, liberalisasi perdagangan serta pesatnya kemajuan industri pariwisata telah menjadikan Indonesia sebagai Negara potensial sebagai produsen Narkoba.
Peredaran Narkoba di Indonesia pada hakekatnya melalui 3 ( tiga ) komponen utama yaitu Produsen, Distributor dan Konsumen. Beberapa lingkungan tempat yang sering menjadi sasaran peredaran gelap Narkoba antara lain Lingkungan Pergaulan danTempat Hiburan ( Diskotik, Karaoke, Pub ), Lingkungan Pekerjaan baik di institusi pemerintahan maupun swasta bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa di lingkungan Polri sendiri di dapati kasus penyalahgunaan narkoba, Lingkungan Pendidikan Sekolah, Universitas/Kampus sangat memungkinkan terdapat peredaran narkoba karena banyak nya interaksi yang terjadi baik antar teman maupun lingkungannya, Lingkungan tempat tinggal Perumahan Asrama, Tempat Kost / rumah kontrakan, Apartemen dan Hotel.
Disamping dari Dalam Negeri, Narkoba juga masih banyak yang didatangkan dari Luar Negeri. Hal ini dapat terjadi melalui pengiriman darat, laut maupun udara.
Peredaran Narkoba lewat darat sering terjadi di perbatasan antara Indonesia dengan Negara sekitar. Hal ini terjadi karena lemahnya sistema dan pengawasan keamanan Indonesia di daerah perbatasan. Para aparat dan petugas yang bekerja diperbatasan tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Serta kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan perkembangan daerah perbatasan telah mengakibatkan kesenjangan yang cukup besar antara masyarakat Indonesia dan daerah perbatasan. Hal ini cendrung mendorong masyarakat local untuk melakukan upaya kriminal dan bukan tidak mungkin membantu atau membiarkan terjadinya peredaran Narkoba untuk mendapatkan keuntungan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Peredaran Narkoba lewat laut juga termasuk sering dilakukan. Wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah lautan merupakan pintu bagi masuknya Narkoba di Indonesia. Tidak semua wilayah bisa terkawal dengan optimal oleh petugas Polair Polri, TNI Angkatan Laut maupun oleh Departemen terkait lainnya. Belum lagi control yang kurang sangat rentan dimanfaatkan oleh oknum petugas untuk meloloskan Narkoba masuk ke Indonesia, dengan mengharapkan untuk mendapat imbalan ataupun suap.
Peredaran Narkoba melalui udara juga rentan menjadi akses masuk Narkoba ke Indonesia. Walaupun beberapa bandara di Indonesia sudah dilengkapi dengan alat pendeteksi Narkoba yang canggih, namun masih banyak sekali bandara yang belum memilikinya. Apalagi semakin lama modus dan upaya penyelundupan Narkoba ke Indonesia semakin berkembang mulai dari melalui kurir anak – anak dan perempuan sampai dengan cara – cara yang tidak masuk akal seperti menelan Narkoba dengan dibungkus semacam pembungkus khusus untuk menghindari pendeteksian Narkoba oleh petugas.
3. UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA DI INDONESIA SERTA CONTOH DAN CARA PENYELESAIANNYA
Penanggulangangan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba wajib dilakukan oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum dan fungsi terkait. Namun demikian peran serta masyarakat dalam menanggulangi Narkoba juga mutlak diperlukan. Tanpa peran serta masyarakat. Upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan secara maksimal.
Langkah penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba yang dilakukan polri dapat digolongkan menjadi 3 upaya yaitu preemtif, preventif maupun repsesif.
Upaya pre-emtif antara lain dilakukan dengan cara educatif pembinaan dan pengembangan lingkungan pola hidup masyarakat, menciptakan hubungan yang harmonis antar sesama masyarakat dan antara masyarakat dengan Polri melalui upaya penyuluhan dan sambang, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam turut serta menjaga keamanan ditengah masyarakat itu sendiri, dan memberikan pencerahan bahwa menggunakan, membeli bahkan sampai memperjual belikan Narkoba adalah perbuatan melanggar norma hukum dan norma agama, serta mengadakan pendekatan solusi usaha mengantikan tanaman ganja yang sering di tanam dengan tanaman pengganti yang lebih memiliki nilai jual tinggi namun tidak melanggar hukum bagi masyarakat petani di Aceh. Disamping itu upaya pre emtif juga dapat dilakukan melalui upaya lidik, pengamanan dan penggalangan. Upaya pre – emtif sebagaimana tersebut diatas dapat dilakukan oleh fungsi Bimbingan masyarakat (Bimmas) dan fungsi intelijen Polri. Disamping itu upaya upaya edukasi, pembinaaan dan pengembangan lingkungan hidup juga dapat dilakukan oleh fungsi Polair terhadap masyarakat perairan dan masyarakat kepulauan di pulau – pulau yang sulit terjangkau.
Upaya preventif dapat dilakukan melalui upaya mencegah masuknya narkoba dari Luar negeri dengan melakukan pengawasan secara ketat di daerah-daerah perbatsan seperti Bandara, pelabuhan laut dan perbatasan-perbatasan darat. Disamping itu untuk mencegah lalulintas Narkoba ilegal di dalam negeri dengan melakukan kegiatan-kegiatan seperti : operasi khusus / razia di jalan – jalan terhadap kendaraan roda 2 dan roda 4 pada daerah rentan lalu lintas Narkoba dengan sistem zig zag sehingga tidak terbaca oleh jaringan pengedar Narkoba, melakukan Razia di tempat-tempat rawan lalulintas narkoba secara ilegal atau tempat-tempat rawan transaksi narkoba seperti tempat – tempat hiburan (Diskotik,karaoke,pub, kafe wareng remang dan lain-lain), mengadakan patroli pencarian sumber Narkoba atau ladang ganja meliputi seluruh wilayah terpencil, mencegah kebocoran Narkoba dari sumber-sumber resmi seperti Rumah sakit, Apotik, Barang bukti dari aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lainya, pencegahan melalui kegiatan penyuluhan, penerangan dan bimbingan tentang bahaya narkoba, dan juga tentang perlunya pengawasan lingkungan oleh masyarakat sendiri terutama keluarga. Upaya preventif ini dapat dilakukan oleh fungsi samapta, lalu lintas, dan lain – lain.
Sedangkan upaya represif berupa upaya penindakan/ penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba dapat dilakukan dengan upaya penyelidikan dan penyidikan secara professional oleh fungsi Reskrim / Res Narkoba Polri. Adapun upaya tersebut dilakukan dengan memperhatikan perangkat hukum yang ada secara maksimal dan tepat sasaran agar tercipta keseimbangan antara perbuatan yang dilakukan dengan sanksi hukuman yang diterapkan serta menindak bagi siapa saja yang menghalangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana diatur dalam pasal 138 UU No 35 tahun 2009. Dan perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lainya untuk diajukan ke pengadilan untuk penyelesaian perkara secepatnya sesuai pasal 74 UU No 35 tahun 2009 dan pasal 58 UU No 5 tahun 1997.
Disamping hal tersebut diatas dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba dari luar negeri, Polri melakukan kerjasama dengan kepolisian Negara lain baik berupa kerjasama antar Negara, kawasan regional ASEAN maupun Interasional melalui Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui wadah Interpol. Kerjasama tersebut dapat berupa bantuan dalam penyidikan tindak pidana Narkoba maupun kerjasama pendidikan melalui Jakarta Center for Law Enforcemet Cooperation (JCLEC) dan United Nation on Drug and Crime (UNODC). Tentu saja kerjasama Polri ini perlu didukung dan ditindak lanjuti oleh pemerintah Negara dengan melakukan kerjasama Government to Government dalam bentuk kerjasama atau perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantuan hukum timbal-balik dalam masalah pidana.
4. PERANAN LEMBAGA PEMERINTAH KEMENTERIAN DAN NON KEMENTERIAN
Dalam melaksanakan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba, Polri dapat bekerjasama dengan lembaga pemerintah kementerian dan non kementerian, seperti Dirjen Bea Cukai, Dirjen Imigrasi, Departemen Agama, Departemen Pariwisata Seni dan Budaya, Badan Pom, Kejaksaan, Kehakiman, Badan Narkotika Nasionla (BNN), dan lain – lain.
Dalam UU No 35 tahun 2009 juga dijelaskan bahwa Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dan dalam prakteknya Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN dapat melakukan kerjasama dan koordinasi dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
5. PERAN SERTA MASYARAKAT
Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas – luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba sesuai dengan pasal 104 UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan pasal 54 UU No 5 TAHUN 1997 tentang Psikotropika.
Peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui upaya mencari, memperoleh dan memberikan informasi, menyapaikan saran dan pendapat serta memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya mengenai adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba.
Selain hal tersebut diatas, peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan berbagi cara sesuai dengan lingungan dengan mewujudkan keluarga yang harmonis dan lingkungan sosial yang sadar akan bahaya Narkoba. Hal ini juga dapat dilakukan oleh masyarakat melalui jalur/ lingkungan pendidikan, kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial masyarakat lainnya.
Implementasi Keputusan MK nomer 130/PUU-XIII/2015 Dalam Pelaksanaan Penyidikan Pada Satreskrim Polrestabes Surabaya.

1.    Latar Belakang Permasalahan
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait pasal-pasal prapenuntutan dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari lima pasal yang diuji, MK hanya mengabulkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) wajib diserahkan penyidik kepada para pihak paling lambat 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan. Putusan MK nomor 130/PUU-XIII/2015, Menyebutkan bahwa Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Fakta yang selama ini terjadi, SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurutnyahal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law seperti dijamin Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor. Pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap pelapor dan korban/pelapor. Alasan Mahkamah didasarkan pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP,yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan dapat menunjuk penasihat hukumnya. Sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembalian penyidikan atas laporannya. Berkaitan dengan putusan di atas, Mahkamah Konstitusi memberi penafsiran sebab akibat dari norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP berupa "apabila tidak dilakukan pemberitahuan kepada penuntut umum, maka penyidikan harus dianggap batal demi hukum". 
Adapun konsekuensi bagi penyidik apabila melewati batas 7 hari belum menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor maka penuntut umum dapat menolak berkas perkara yang diajukan penyidik. Apabila penuntut umum memaksakan untuk menerima berkas perkara itu maka kemungkinan tersangka (terlapor) akan memanfaatkan keterlambatan tersebut untuk mengajukan praperadilan. Dengan demikian, keterlambatan pengiriman SPDP oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor telah memperluas atau menambah objek praperadilan. Di mana sebelumnya MK juga telah memperluas objek praperadilan lainnya seperti penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan berdasarkan putusan MK Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas masalah Implementasi Keputusan MK nomer 130/PUU-XIII/2015 Dalam Pelaksanaan Penyidikan Pada Satreskrim Polrestabes Surabaya.

2.    Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan argumentasi rasionalisasi permasalahan yang tertuang dalam latar belakang penelitian diatas, pertanyaan penelitian akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.        Bagaimana manajemen penyidikan yang dilakukan di Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya?
b.        Dalam putusan MK no. 130/PUU-XIII/2015 disebut bahwa SPDP juga dikirim kepada Terlapor, terminologi Terlapor tidak ada di dalam KUHAP, Bagaimana Implementasi putusan MK tersebut di Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya?


3.    Tujian Penelitian
            Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji:
a.         Manajemen penyidikan di Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya.
b.         Implementasi putusan MK no. 130/PUU-XIII/2015 dalam pelaksanaan penyidikan di Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya.

4.    Teori-teori
a.    Teori Penyimpangan
Deviation adalah penyelewengan terhadap norma2 dan nilai2 dalam masyarakat, “deviance is behavior that a considerable number of people in a society view as reprehensible and beyond the limits of tolerance”. Jadi, penyimpangan adalah tingkah laku yang dianggap oleh sejumlah besar orang sebagai sesuatu yang tercela dan di luar batas-batas toleransi. Perilaku yang menyimpang akan terjadi apabila manusia mempunyai kecenderungan untuk lebih mementingkan suatu nilai sosial-budaya daripada kaidah-kaidah yang ada untuk mencapai cita-citanya. Pudarnya pegangan pada kaidah-kaidah menimbulkan keadaan yang tidak stabil dan keadaan tanpa kaidah ini dinamakan anomi. Terjadinya deviation kadang-kadang dianggap sebagai pertanda bahwa struktur sosial perlu diubah.
Hal ini merupakan suatu petunjuk bahwa struktur yang ada tidak mencukupi dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan yang terjadi. Menurut Kornblum (1989:202-204) di samping penyimpangan (deviance) dan penyimpang (deviant) kita menjumpai pula institusi menyimpang (deviant institution). Contoh yang disajikannya adalah kejahatan terorganisasi. Sebenarnya hal ini dapat di analogikan seperti ketika penyidik melakukan penyimpangan dalam penyidikan secara terorganisir, mulai dari atasan sampai bawahan yang sudah barang tentu penyimpangan ini akan menimbulkan kejahatan korupsi didalamnya. Namun demikian bila dalam lingkungan penyidik tersebut terjadi deviation atau penyimpangan biasanya mereka tidak akan suka tetapi apabila lingkungan penyidik itu merasakan manfaat dari deviation tertentu maka penyimpangan itu akan diterimanya.Salah satu contoh penyimpangan yang kemudian tidak begitu dicela lagi adalah penerimaan uang suap oleh penyidik yang mempunyai kekuasaan dan wewenang dalam kasus-kasus kejahatan tertentu.

b.    Deterrence Theory
Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Dalam upaya pencegahan kejahatan, mereka menekankan bukan pada faktor penyebabnya melainkan pada aspek penghukuman atau sistem peradilan pidana, mulai dari perumusan ancaman pidananya sampai penegakan hukum dan pelaksanaan pidananya. Karena tujuan utama dari hukum pidana adalah deterrence maka peraturan hukum pidana harus merumuskan secara jelas perbuatan apa yang digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum dan pidana apa yang cukup layak mengimbangi kepuasan/manfaat yang diperoleh dari melakukan kejahatan sehingga karenanya mencegah orang untuk melakukan kejahatan (Bentham dan Cessare dalam Muhammad. 2006: 6). Von Hirsch (1976) menyatakan : Sebenarnya dapat diasumsikan bahwa sebagian besar kejahatan dilakukan oleh sebagian kecil orang, bahkan mungkin 1 orang dapat melakukan beberapa kejahatan yang berbeda dan jumlahnya banyak, maka penghukuman terhadap sebagian kecil orang tersebut saja sebenarnya sudah cukup untuk mencegah kejahatan tersebut berlangsung kembali (Selective Incapacitation Policy). Selanjutnya bagi mereka yang bersalah, memang layak untuk dihukum, karena hukuman membuat mereka lebih menderita. Disisi lain hukuman jugalah yang dapat mencegah lebih banyak derita daripada yang dihasilkannya (Just Desert Policy) (Hirsch dalam Meliala, 2006: 2).
Menurut teori ini, terdapat tiga aspek yang mempengaruhi efektivitas sistem pemidanaan, yaitu :
1)    Severity (membebani), dalam arti seimbang (fit) dengan perbuatan jahat, secara adil melampaui kepuasan yang dijanjikan oleh suatu perbuatan jahat, kalau terlalu berat tidak adil (unjust) dan sebaliknya, kalau terlalu ringan juga tidak akan memberikan efek jera. 
2)    Celerity/swift (kecepatan), artinya pemidanaan juga harus segera ditegakan, beberapa saat setelah atau pada saat perbuatan pidana tersebut dilakukan. 
3)    Certainty (kepastian), artinya ada kepastian untuk menegakkan hukum sehingga siapapun yang melakukan pelanggaran hukum harus ditindak.
Dalam hal ini memang tindakan yang akan dikenakan sanksi penjeraan bukan pidana. Namun demikian, dapat dianalogikan demikian karena fokusnya bukan pada tindak pidana melainkan pada seberapa tinggi efek yang dihasilkan atas sanksi yang diberikan. Pada pengawasan penyidikan yang dilakukan, efek jera sangat berpengaruh pada keberhasilan aturan yang diberikan kepada setiap penyidik yang melakukan penyalahgunaan wewenang. Aturan yang dibuat harus memuat sanksi yang jelas agar pada penerapannya menjadi efektif untuk perbaikan yang akan dilakukan. 

c.    Teori Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah proses analisis atau penilaian lingkungan organisasi yang meliputi kondisi situasi, keadaan, peristiwa dan pengaruh-pengaruh di dalam dan di sekeliling organisasi yang berdampak pada kehidupan organisasi (Salusu, 1996: 356 – 359). Tentang Analisis SWOT ini dijelaskan sebagai berikut:
a)    Lingkungan internal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi struktur organisasi (termasuk susunan dan penempatan personelnya), sistem organisasi dalam mencapai efektivitas organisasi, SDM, anggaran serta faktor-faktor lain yang menggambarkan dukungan terhadap proses kinerja/misi organisasi yang sudah ada, maupun yang secara potensial dapat muncul di lingkungan internal organisasi, seperti teknologi yang telah digunakan sampai saat ini. Lingkungan internal meliputi:
1)    Faktor Kekuatan (strengths) adalah situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif yang memungkinkan organisasi memenuhi keuntungan strategik dalam mencapai visi dan misi.
2)    Faktor Kelemahan (weakness) adalah situasi dan ketidakmampuan internal yang mengakibatkan organisasi tidak dapat atau gagal mencapai visi dan misi.
b)    Lingkungan eksternal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi :
1)    Faktor Peluang (opportunities) adalah situasi dan faktor-faktor luar organisasi yang bersifat positif, yang membantu organisasi mencapai atau mampu melampaui pencapaian visi dan misi.

2)    Faktor Ancaman/tantangan (threats) adalah faktor-faktor luar organisasi yang bersifat negatif, yang dapat mengakibatkan organisasi gagal dalam mencapai visi dan misi.
PENGAMANKAN SISTEM INFORMASI

Kelompok peretas yang menamakan diri sebagai “Army Anons” melumpuhkan situs web Polri. Subdomain Divisi Humas Polri http://humas.polri.go.id/, menjadi korban serangan tersebut. Di akun instagram @army_anons, sekitar satu jam lalu kelompok itu mengunggah foto layar yang menampilkan bukti bahwa subdomain Divisi Humas Polri down alias lumpuh. Tulisan dari Army Anons  "Saya memutuskan untuk melumpuhkan situs web ini @divisihumaspolri. Ini pesan untuk kepolisian Indonesia. Saya melumpuhkan situs web ini hanya dalam waktu beberapa menit untuk menunjukkan bahwa saya tidak lemah,".
Kelompok itu mengancam akan menjadikan lembaga perbankan sebagai target, bila polisi tidak berhenti melontarkan pernyataan bahwa kelompok mereka adalah dalang di balik peredaran screenshoot diduga sex chat antara pentolan FPI Habib Rizieq Shihab dengan Firza Husein. Komentar Army Anons "Coba bayangkan, berapa kerugian yang akan dialami kalau saya melumpuhkan server transaksi perbankan dalam waktu sejam. Saya bisa lakukan apa pun untuk membela kebenaran. Kami adalah Anonymous,".
Ketika artikel ini dibuat, administrator situs web Divisi Humas Polri sudah mengambil langkah, sehingga situs itu kembali bisa diakses. Saat kami mengklik alamat tersebut, muncul pemberitahuan yang berbunyi, "Mohon maaf Website http://humas.polri.go.id sedang dalam perbaikan database mohon bersabar....@divhumaspolri. Selain itu, kami sudah mencoba untuk melacak cache situs web itu di Google, tetapi tidak membuahkan hasil.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menanggapi isu peretasan subdomain Divisi Hubungan Masyakarat (Humas) http://humas.polri.go.id/. Kelompok peretas yang menamakan diri sebagai "Army Anons", mengklaim telah berhasil melumpuhkan website tersebut. Melalui akun Twitter @DivHumasPolri dan Instagram @divisihumaspolri, Divisi Humas Polri mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh dengan informasi yang belum jelas kebenarannya. Selain itu, Divisi Humas Polri juga menggunggah gambar tampilan sebuah website berisi informasi tentang peretasan tersebut.
Dengan adanya kejadian tersebut dalam latar belakang yaitu diretasnya situs web Divhumas Mabes Polri, maka perlu adanya pengamanan system informasi Polri. Pada umumnya, pengamanan dapat dikategorikan menjadi dua jenis: pencegahan (preventif) dan pengobatan (recovery). Usaha pencegahan dilakukan agar sistem informasi tidak memiliki lubang keamanan, sementara usaha-usaha pengobatan dilakukan apabila lubang keamanan sudah dieksploitasi. Hal-hal yang dilakukan dalam mengamankan system informasi yaitu :
1.    Mengatur akses (Access Control)
Salah satu cara yang umum digunakan untuk mengamankan informasi adalah dengan mengatur akses ke informasi melalui mekanisme “authentication” dan “access control”. Implementasi dari mekanisme ini antara lain dengan menggunakan “password”.
2.    Menutup servis yang tidak digunakan
Seringkali sistem (perangkat keras dan/atau perangkat lunak) diberikan dengan beberapa servis dijalankan sebagai default. Sebagai contoh, pada sistem UNIX servis-servis berikut sering dipasang dari vendornya: finger, telnet, ftp, smtp, pop, echo, dan seterusnya. Servis tersebut tidak semuanya dibutuhkan. Untuk mengamankan sistem, servis yang tidak diperlukan di server (komputer) tersebut sebaiknya dimatikan.
3.    Memasang Proteksi
Untuk lebih meningkatkan keamanan sistem informasi, proteksi dapat ditambahkan. Proteksi ini dapat berupa filter (secara umum) dan yang lebih spesifik adalah firewall. Filter dapat digunakan untuk memfilter e-mail, informasi, akses, atau bahkan dalam level packet.
4.    Pemantau adanya serangan
Sistem pemantau (monitoring system) digunakan untuk mengetahui adanya tamu tak diundang (intruder) atau adanya serangan (attack). Nama lain dari sistem ini adalah “intruder detection system” (IDS). Sistem ini dapat memberitahu administrator melalui e-mail maupun melalui mekanisme lain seperti melalui pager.
5.    Pemantau integritas system
Pemantau integritas sistem dijalankan secara berkala untuk menguji integratitas sistem. Salah satu contoh program yang umum digunakan di sistem UNIX adalah program Tripwire. Program paket Tripwire dapat digunakan untuk memantau adanya perubahan pada berkas.
6.    Audit: Mengamati Berkas Log
Segala (sebagian besar) kegiatan penggunaan sistem dapat dicatat dalam berkas yang biasanya disebut “logfile” atau “log” saja. Berkas log ini sangat berguna untuk mengamati penyimpangan yang terjadi. Kegagalan untuk masuk ke sistem (login), misalnya, tersimpan di dalam berkas log. Untuk itu para administrator diwajibkan untuk rajin memelihara dan menganalisa berkas log yang dimilikinya.
7.    Backup secara rutin
Seringkali tamu tak diundang (intruder) masuk ke dalam sistem dan merusak sistem dengan menghapus berkas-berkas yang dapat ditemui. Jika intruder ini berhasil menjebol sistem dan masuk sebagai super user (administrator), maka ada kemungkinan dia dapat menghapus seluruh berkas.
8.    Penggunaan Enkripsi untuk meningkatkan keamanan
Salah satau mekanisme untuk meningkatkan keamanan adalah dengan menggunakan teknologi enkripsi. Data-data yang anda kirimkan diubah sedemikian rupa sehingga tidak mudah disadap. Banyak servis di Internet yang masih menggunakan “plain text” untuk authentication, seperti penggunaan pasangan userid dan password. Informasi ini dapat dilihat dengan mudah oleh program penyadap atau pengendus (sniffer).
PERAN CCTV DALAM PENGUNGKAPAN KASUS PEMBUNUHAN ITALIA

a.    Kasus Pembunuhan Italia
Nasib tragis dialami oleh Italia Chandra Kirana Putri (23), warga Perumahan Bugel Indah, Karawaci, Kota Tangerang. Calon dokter gigi yang sedang co ass dari Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti ini tewas usai ditembak oleh perampok yang sebe-lumnya akan mengambil sepeda motor korban. Penembakan terhadap Italia terjadi pada Senin tanggal 12/06/2017 sekira pukul 14:45 Wib. Saat itu, Italia memergoki perampok sedang mengutak-atik motor Honda Beat B 3378 CFH hitam yang diparkir di depan rumahnya. Melihat itu, Italia sontak meneriakinya maling. Teriakan Italia membuat para perampok ketakutan. Takut tertangkap warga, perampok tersebut langsung menembak korban tepat di dada kanannya. Selanjutnya, perampok bersama satu teman lainnya langsung kabur dengan Honda Beat biru. Kasus ini ditangani Polres Tangerang Kota. Sejumlah saksi juga masih dimintai keterangan. Dari hasil rekaman CCTV, ada dua yang mengendarai motor yang diduga sebagai pelaku penembak Italia. Polisi pun hingga kini terus melakukan perburuan pelaku.
Foto wajah pelaku pembunuhan Italia terekam CCTV


Foto sketsa wajah pelaku pembunuhan Italia, Nomor Polisi dan Helm yang dipakai pelaku berdasar rekaman CCTV
Polisi bergerak cepat dengan berbekal rekaman CCTV yang merekam wajah pembunuh Italia Chandra Kirana Putri, polisi dapat mengidentifikasi identitas pelaku yaitu Syaiful, 25 tahun. Orang ini memiliki rekam jejak kriminal panjang. Ia diketahui sebagai residivis yang kerap kabur dari penjara. Ia pernah dua kali kabur. Selain residivis, Syaiful ini juga berstatus DPO Polda Banten. Pada Januari 2017 ia sempat kabur saat pelimpahan dari Polsek ke Polres, tapi bisa ditangkap. Syaiful kembali kabur pada April 2017 saat hendak menjalani sidang dipengadilan. Hingga pada 12 Juni 2017, ia menembak mati Italia Chandra saat aksi pencuriannya terpergok. Identitas Syaiful terungkap setelah polisi menelusuri jejaknya dari M, rekan Syaiful yang wajahnya terekam kamera closed-circuit television dekat rumah Italia. Sementara wajah Syaiful saat itu tertutup oleh helm yang ia kenakan.
Informasi dari Polda Banten kemudian mengungkap bahwa Saiful pernah ditangkap Polsek Merak tapi berhasil kabur saat dilimpahkan ke Polres Cilegon. Dari Polres Cilegon tim Ditreskrimum Polda Metro Jaya mendapatkan foto dan informasi lebih jelas tentang tersangka,ini menguatkan hasil temuan penyidik. Pada tanggal 9 Juli 2017 pukul 14.00 WIB, Syaiful ditangkap oleh anggota kepolisian di Jalan Lematang - Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Pelaku melawan dengan menggunakan senjata api yang dibawanya. Akhirnya Polisi menembaknya dan dia pun tewas di lokasi kejadian.
b.    Rekaman CCTV Merupakan Alat Bukti
Dalam tahap penyidikan sampai tahap penuntutan, Jaksa penuntut umum menggunakan rekaman kamera CCTV (Closed Circuit Television) sebagai barang/alat bukti atau penunjang alat bukti dalam pengungkapan suatu perkara di sidang pengadilan. Dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) disebutkan bahwa hanya terdapat 5 (lima) alat bukti yang sah, yakni: 
a)    keterangan saksi;
b)    keterangan ahli;
c)    surat;
d)    petunjuk;
e)    keterangan terdakwa.
Alat bukti yang sah menurut UU No. 11/2008 tentang ITE
Pasal 5 dan pasal 44 UU ITE mengatur tentang alat bukti sebagai berikut:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia,
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 44 Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta
Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016 menindaklanjuti permohonan judicial review UU ITE Amar Putusan :
1)    Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1 Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
1.2 Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dst.
2)    Dalam Pertimbangan Hukum Pokok Permohonan Putusan MK, dinyatakan bahwa: UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan seperti yang ditentukan dalam BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG khususnya Pasal 31 ayat (1) yang menentukan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU ITE memberi penjelasan apa saja yang termasuk dalam intersepsi atau penyadapan sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1), yaitu “Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”
Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU ITE dan penjelasannya maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) yang menyatakan, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”;
Rekaman kamera CCTV bisa menjadi alat bukti yang sah apabila dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Permasalahannya adalah apakah yang dimaksudkan dengan frase  "atas permintaan" di atas adalah permintaan pemasangan/perekaman menggunakan CCTV ataukah permintaan hasil rekaman kamera CCTV. Ini pasti akan menjadi sesuatu yang debatable. Jika yang dimaksudkan adalah permintaan perekaman/pemasangan kamera CCTV maka seluruh pemasangan kamera CCTV di mall-mall, supermarket, minimarket, jalan raya, kompleks perumahan, instansi pemerintahan, mesin ATM, dll. harus atas permintaan kepolisian dan/atau penegak hukum lainnya jika nantinya akan dijadikan sebagai alat bukti hukum yang sah di sidang pengadilan. Namun jika yang dimaksudkan adalah permintaan hasil rekamannya, maka selama dilakukan dalam rangka penegakan hukum dan sesuai prosedur maka rekaman kamera CCTV dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah di sidang pengadilan.
Bagaimana menjamin orisinalitas alat bukti rekaman kamera CCTV?
Bedasarkan pasal 6 UU ITE dan penjelasannya: Pasal 6 Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau lisan Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Penjelasan Pasal 6 Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.
Rekaman kamera CCTV yang asli adanya di DVR (Digital Video Recorder), meskipun saat ini sudah banyak rekaman kamera CCTV yang disimpan di kamera berupa memory card (micro SD). Namun apa pun medianya jika kita copy-kan ke media lain (misalnya flash disk atau hard disk laptop) maka data rekaman kamera CCTV yang ada di flash disk atau hard disk laptop tersebut merupakan salinannya. Dan sesuai penjelasan pasal 6 UU ITE, karena Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya, maka dokumen yang asli dan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan, sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Oleh karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan di sidang pengadilan, maka proses pemindahan data asli rekaman kamera CCTV ke salinannya haruslah dilakukan oleh aparat penegak hukum dan dibuatkan berita acara pengambilan/pemindahan data rekaman ini. Analoginya adalah legalisasi ijazah hasil foto copy yang menerangkan bahwa salinan sesuai aslinya dan ditandatangani pejabat berwenang, sehingga keotentikan salinan ijazah tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Informasi yang tercantum dalam alat bukti rekaman kamera CCTV harus dapat diakses, ditampilkan dan dijamin keutuhannya.
Dapat diakses artinya kita harus dapat berinteraksi dengan informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV tersebut. Dapat ditampilkan artinya informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV tersebut harus dapat ditunjukkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan melalui layar monitor komputer, layar projector, TV, maupun hasil cetakan berupa dokumen.
Dijamin keutuhannya artinya informasi yang ada dalam rekaman kamera CCTV harus dijaga keutuhan informasinya, dalam artian tidak adanya perubahan, manipulasi, distorsi atau rekayasa informasi, termasuk namun tidak terbatas pada penyuntingan, penghapusan, pemotongan, penambahan, pengulangan, pengkompresian data atau informasi. Jika data harus dianalisis atau dilakukan forensik digital maka harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan/atau ahli forensik digital serta dilakukan sedemikian rupa tanpa menghilangkan keutuhan atau kesatuan datanya.

PENANGGULANGAN PEREDARAN NARKOBA DI INDONESIA 1. Beberapa faktor yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran peredaran gelap narkoba band...